Seperti
sudah saya sampaikan di tulisan tersebut, kecuali untuk perusahaan yang sudah
Go-Publik (harus lapor Bappepam) saya tidak menganjurkan untuk menjalankan apa
yang direkomendasikan oleh PSAK 34, karena pendekatan tersebut terlalu
berbahaya. Itulah yang akan saya bahas dalam tulisan ini—dengan melanjutkan
contoh kasus yang sama (agar pemahamannya utuh, bagi yang belum membaca tulisan
sebelumnya saya sarankan agar dibaca terlebih dahulu).
Saya
katakan apa yang disarankan dalam PSAK 34 terlalu berbahaya karena menurut
saya, meskipun aspek legalitas kontrak telah terpenuhi, selama hasil
perkembangan pekerjaan belum pasti diketahui, tetap saja estimasi yang telah
dibuat belum tentu sungguh-sungguh terjadi.
Saya
tampilkan kembali contoh kasusnya:
BRISTOL adalah kontraktor. Tanggal 2 Januari 2012 memperoleh kontrak mengerjakan
pembangunan Ruko dari PT. ABC. Kondisi kontrak disepakati sebagai berikut:
Nilai
Kontrak = Rp 10,000,000,000 (Dokumen internal PT. BRISTOL berupa RAB menunjukan
angka Rp 7,500,000,000).
Lamanya
waktu pengerjaan adalah 3 tahun, bangunan di serahkan paling lambat tanggal 28
Desember 2014 dengan rencana tahapan penyelesaian pekerjaan sebagai berikut:
- Akhir Semester I 2012 : 10%
- Akhir Semester II 2012: 30%
- Akhir Semester I 2013: 50%
- Akhir Semester II 2013: 70%
- Akhir Semester I 2014: 90%
- 28 Desember 2014: 100%
Pencairan
pembayaran dilakukan secara bertahap mengikuti perkembangan penyelesaian
pekerjaan. Untuk menentukan perkembangan penyelesaian pekerjaan, pihak PT. ABC
bersama-sama PT. BRISTOL akan melakukan inspeksi lapangan. Kontrak telah disahkan
dalam perjanjian yang dibuat di hadapan seorang notaris.
Jika
isi kontrak tersebut dituangkan ke dalam estimasi, maka hasilnya akan menjadi
sbb:
Tanggal
10 Januari 2012, PT. BRISTOL membeli bahan bahan bangunan (besi, semen, pasir,
kapur, batu koral) sebesar Rp 25,000,000. Jurnalnya:
[Debit].
Pekerjaan Dalam Proses = Rp 25,000,000
[Kredit].
Utang – Toko Rejeki = Rp 25,000,000
Tanggal
25 Januari 2012, PT. BRISTOL membayah upah mandor pengawas dan upah buruh bangunan
sebesar Rp 50,000,000. Jurnalnya:
[Debit].
Pekerjaan Dalam Proses = Rp 50,000,000
[Kredit].
Kas = Rp 50,000,000
(Mengapa
jurnalnya demikian? Silahkan baca penjelasannya di tulisansebelumnya. Penting untuk saya sampaikan bahwa: akun ‘Biaya
Kontrak Konstruksi‘ adalah penyederhanaan, pada penerapan yang sesungguhnya
anda bisa memilah-milah transaksi berdasarkan bahan yang dibeli—untuk tujuan
pengendalian (sehingga akun ‘Biaya Kontrak Konstruksi’—sehingga akun ‘Biaya
Kontrak Konstruksi’ bisa anda beri nama ‘Biaya Kontrak – Besi’, ‘Biaya Kontrak
– Semen’, dan seterusnya—apapun namanya sepanjang memenuhi logika akuntansi dan dipergunakan secara konsisten. Saya
akan bahas di tulisan yang akan datang).
Nah,
jika mengikuti PSAK 34, di akhir Januari 2012 ‘Pekerjaan Dalam Proses’ sudah
bisa dipindahkan ke akun biaya dengan jurnal. Dan pengakuan pendapatan dapat
dilakukan dengan membuat rasio antara biaya yang telah dikeluarkan dengan RAB,
lalu rasio tersebut diaplikasikan ke dalam total nilai kontrak. Sehingga diperoleh
jurnal pengakuan pendapatan sbb:
[Debit].
Piutang – PT. ABC = Rp 100,000,000
[Kredit].
Pendapatan = Rp 100,000,000
Dengan
laba Rp 25,000,000
(Mengenai
tehnis pembuatan rasio dan perhitungan pendapatan, silahkan baca tulisan
sebelumnya).
TETAPI,
sekalilagi, SAYA TIDAK MENGANJURKAN ITU. Saya menganjurkan aga pengakuan
pendapatan baru dilakukan jika kepastian pembayaran mendekati 99%. Kapan
kepastian 99% itu tercapai?
Kepastian
99% itu terjadi pada saat perkembangan hasil pekerjaan telah dinilai dan
disepakati antara PT. BRSTOL selaku kontraktor dan PT. ABC selaku pemberi kontrak.
Selama inspeksi atau penilaian hasil pekerjaan belum dilakukan, maka pengakuan
pendapatan saya anggap terlalu buru-buru.
Bayangkan,
jika PT. BRISTOL misalnya mengikuti anjuran dari PSAK 34 seperti di atas, lalu
setelah dialakukan penilaian ternyata PT. ABC menganggap perekembangan hasil
pekerjaan yang telah dicapai oleh PT. BRISTOL baru mencapai 0.5% (bukan 1% seperti
pengakuan pendapatan yang telah di buat), padahal buku Januari 2012 sudah ditutup.
Pastinya buku akan jadi kocar-kacir. Bukan hanya pendapatan yang lebih diakui,
tetapi juga laba!
Sehingga
sekalilagi, pengakuan pendapatan sebaiknya dilakukan setelah penilaian
(inspeksi) lapangan dilakukan. Sebelum itu terjadi, sebaiknya pengeluaran-pengeluaran
yang telah terjadi tetap diakumulasikan kea kun ‘Pekerjaan Dalam Proses’. Tak
masalah jika laporan laba-rugi belum di buat. Lha wong faktanya belum ada
pendapatan koq. Fakta juga bahwa segala pengeluaran yang telah terjadi masih
merupakan pemupukan asset (aktiva)—samasekali tidak melanggar prinsip-prinsip
akuntansi.
Oke.
Sesuai isi kontrak—akhir Semester I 2012, PT. BRISTOL dijadwalkan sudah akan
merampungkan minimal 10% dari seluruh pekerjaan. Katakanlah tanggal 25 Juni
2012, PT. BRISTOL mengajukan meminta pembayaran pertama kepada PT. ABC.
Dalam
kontrak telah disebutkan bahwa. “pembayaran dilakukan secara bertahap mengikuti
perkembangan hasil pekerjan”. Atas permintaan tersebut, PT. ABC dengan ditemani
oleh perwakilan dari PT. BRISTOL melakukan inspeksi lapangan secara bersama-sama
untuk memeriksa tingkat penyelesaian pekerjaan konstruksi yang telah dicapai
oleh PT. BRISTOL.
Dari
hasil pemeriksaan bersama ditemukan bahwa tingkat penyelesaian yang sudah
dicapai mencapai 9%. Untuk itu, disepakati bahwa PT. ABC akan segera
mengirimkan pembayaran sebesar 9% x nilai kontrak = 9% x Rp 10,000,000,000 = Rp
900,000,000. Nah, di titik ini PT. BRISTOL sudah bisa mengakui pendapatan.
Selanjutnya,
keesokan harinya (26 Juni 2012) PT. BRISTOL mengirimkan invoice tagihan sebesar Rp
900,000,000. Sementara itu, per tanggal 26 Juni 2011 saldo akumulasi akun
‘Pekerjaan Dalam Proses’ PT. BRISTOL menunjukan angka Rp 800,000,000.
Bagaimana
mencatat invoice tagihan tersebut? Bagimana dengan pangakuan biayanya—saldo
akumulasi akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’ PT. BRISTOL menunjukan angka Rp
800,000,000, apakah semuanya dipindahkan ke akun biaya?
Jangan
buru-buru. Sebagai orang accounting, biasakan berpikir analitis—jangan mau jadi
kalkulator dan tukang jurnal saja—bandingkan estimasi dengan kenyataannya
dahulu.
Tingkat
pencapaian pekerjaan seharusnya sudah mencapai 10%, pada kenyataannya yang bisa
disepakati hanya 9% sehingga kenyataannya pendapatan hanya Rp 900,000,000 (Rp
100,000,000 lebih rendah dibandingkan estimasi). Sementara, kenyataan
pengeluaran yang telah terjadi mencapai Rp 800,000,000 (Rp 50,000,000 lebih
tinggi dibandingkan estimasi yang hanya Rp 750,000,000). Karena penyimpangan di
pendapatan dan biaya tersebut, Laba-pun menjadi menyimpang. Dari estimasi laba
Rp 250,000,000 (=1,000,000,000 – 750,000,000), yang terealisasi hanya Rp
100,000,000. Terjadi penyimpangan laba sebesar Rp 150,000,000. Angka yang cukup
besar tentunya.
Dari
perspektif akuntansi, untuk pendapatan—mau tidak mau hanya bisa diakui sebesar
invoice tagihan. Sehingga jurnalnya menjadi:
[Debit].
Piutang PT. ABC – Akhir Semester I 2012 = Rp 900,000,000
[Debit].
Pendapatan = Rp 900,000,000
Yang
masih jadi tanda tanya adalah pengakuan biayanya. Pertanyaannya: Sungguhkah
biaya yang telah keluar sebesar Rp 800,000,000? Periksa pencatatan dari awal
hingga akhir—apakah sudah akurat? Jika belum akurat lakukan
penyesuaian-penyesuaian. Jika sudah akurat?
Kemungkianannya
tinggal 2 saja:
Kemungkinan-1.
Ada beberapa bahan yang sudah dibeli, tetapi belum dipergunakan sepenuhnya – Periksa: adakah material bangunan yang belum dipakai
(semen, pasir, kapur, kayu, dan lain-lain), adakah material yang setengah
proses? Jika ada, hitung. Adakah upah tukang/buruh yang dibayar di depan? Jika
ada hitung. Mungkin tidak bisa dihitung secara pasti, untuk itu lakukan
estimasi—minta approval dari atasan (pimpinan) untuk menentukan estimasi ini.
Katakanlah total angkanya Rp 100,000,000, maka besarnya biaya yang diakui hanya
Rp 700,000,000 (=800,000,000 – 100,000,000). Saldo akun ‘Pekerjaan Dalam
Proses’ yang bisa dipindahkan ke akun biayapun jadinya hanya Rp 700,000,000.
Sehingga jurnalnya:
[Debit].
Biaya Kontrak Konstruksi = Rp 700,000,000
[Kredit].
Pekerjaan Dalam Proses = Rp 700,000,000
Oke
pengakuan pendapatan dan biaya telah dilakukan. Hasilnya? Laba Rp 200,000,000
saja. Masih ada penyimpangan Rp 50,000,000 jika dibandingkan dengan estimasinya
yang Rp 250,000,000. Dimanakah selisihnya?
Kemungkinan-2.
Pemborosan (inefisiensi) dan kehilangan
– Jika estimasi material bangunan yang belum terpakai sudah akurat dan
disepakati, maka kemungkinan yang tersisa hanya ini (boros atau hilang). Telah
terjadi pemborosan atau kehilangan senilai Rp 50,000,000. Apa yang harus
dilakukan terhadap selisih ini, apakah diakui sebagai biaya atau langsung diakui
sebagai rugi?
Catat
biaya saja. Jurnalnya:
[Debit].
Biaya Kontrak Konstruksi = Rp 50,000,000
[Kredit].
Pekerjaan Dalam Proses = Rp 50,000,000
Kondisi
timpang seperti ini besar kemungkinannya terjadi di awal-awal. Memang, pekiraan
tingkat penyelesaian pekerjaan yang telah disepakati belum tentu akurat 100%,
estimasi material yang belum terpakai juga belum tentu akurat 100%.
Bagaimanapun juga itu baru satu dari total 5 fase yang direncanakan.
Perlakuan
akuntansi, analisa dan pengendalian di fase-fase berikutnya akan tetap
demikian. Terus berulang sampai proyek selesai.
Nah,
jika penyimpangan di fase pertama ini tidak tertutup di fase berikutnya, maka
besar kemungkinannya diakhir proyek nanti PT. BRISTOL akan mengalami kerugian.
Kerugian
itu tidak selalu karena pemborosan atau kehilangan, bisa saja karena RAB-nya
yang keliru. Oleh sebab itu, disamping perlu melakukan pengawasan lebih ketat,
RAB juga perlu dihitung/ditinjau ulang tingkat akurasinya—mungkinkah harga
material naik? Atau upah buruh/tukang naik? Dan lain sebagainya. Jika memang
tidak akurat atau telah terjadi kenaikan harga material maka PT. BRISTOL perlu
membuat revisi RAB. Jika negosiasi ulang bisa dilakukan dengan pihak PT. ABC,
tentu itu jalan terbaik.
Dalam
contoh kasus tadi kebetulan saya buat hasil penilaian tingkat perkembangan
pekerjaan lebih kecil dari estimasi. Pada praktek sesungguhnya, bisa saja
terjadi hal sebaliknya (meskipun kemungkinannya kecil). Jika demikian
keaadaanya, berarti akan timbul laba. Laba itupun belum tentu akurat. Masih perlu
dilihat di fase-fase berikutnya.
Secara
keseluruhan bisa saya katakan bawa: penerapan ‘Metode Persentase Penyelesaian’
pada kontrak konstruksi tidak mudah. Tantangannya ada pada akurasi
estimasi-estimasi yang telah dibuat—akurasinya yang mentukan apakah proyek
menjadi sukses atau sebaliknya. Diperlukan sistim administrasi dan pengendalian
yang ketat—jauh lebih ketat dibandingkan jenis aktivitas usaha lainnya.
Kesulitan
itu akan menjadi semakin tinggi jika perusahaan menggarap multi-kontrak,
multi-proyek. Mengapa semakin seulit? Karena setiap biaya yang timbul harus
bisa dihubungkan dengan proyeknya. Pendapatan yang diterimapun harus bisa
dihubungkan dengan proyeknya dengan benar. Sehingga matching principle tetap
bisa terjaga. Untuk itu diperlukan perencanaan dan pengorganisasian khusus.
Nah
bagaimana merencanakan dan mengorganisasikan administrasi agar perlakuan
akuntansinya tetap konsisten, benar dan akurat? Jika ada kesempatan saya akan
bahas secara khusus. Yang jelas bahasan tersebut akan lebih banyak di wilayah
sistim informasi akuntansi dan pengendalian interen (penyusunan
sistem/prosedur, dan kebijakan/policy). Tentu yang lekat dengan kenyataan
praktek dilapangan (actionable)—bukan yang sifatnya teoritis belaka. Untuk
sementara saya ucapkan selamat beraktivitas, semoga sukses selalu.
No comments:
Post a Comment