BRISTOL TAX SERVICE

081284815838

Breaking News

Recents

About Our Blog

Thursday 24 December 2015

PPN Masuk ke Laba-Rugi atau Neraca? (Penjurnalan dan Penyajian PPN)

PPN masuk ke Laba-Rugi atau Neraca? Tanya salah seorang pembaca Blog Bristol . Seringnya mendengar dan melihat kata “PPN” dalam kehidupan sehari-hari (nyaris setiap kitir belanja ada tulisan PPN) ternyata tidak serta-merta membuat kita sungguh-sungguh ‘ngeh’ apa itu PPN. 

Entah karena terlihat sepele di mata kita (saking seringnya kita baca) atau faktor lainnya, yang jelas begiu dihadapkan pada administrasi PPN (fiskal maupun komersial), masih banyak diantara kita yang masih ‘gagap’. Boleh saja kita berpikir “Ah.. toh sudah ada konsultan pajak. Perkara laporan PPN pasti beres,”  nyatanya memang benar bahwa kehadiran konsultan pajak di perusahaan lumayan membuat proses pelaporan PPN menjadi lebih lancar.

Pertanyaannya: Bagaimana dengan administrasi di dalam perusahaan itu sendiri? Apakah yang tersaji di laporan fiskal sudah sinkron dengan apa yang disajikan di laporan komersial?
Dari pengalaman yang sudah-sudah, terutama di perusahaan-perusahaan berskala kecil hingga menengah, saya jarang menemukan catatan komersial perusahaan—khusus PPN—yang bisa sinkron dengan laporan pajaknya. Lebih banyak yang ‘nggak nyambung’ (jika tidak mau disebut kacau.) Lha bagaimana bisa sinkron, wong mau dibawa ke Laporan Laba-rugi atau Neraca saja tidak tahu. Saya khawatir debit-kreditnyapun tak begitu jelas.

Tapi ya tidak apa-apa, yang penting pelaporan pajaknya benar dahulu. Untuk sinskronisasi di laporan komersial bisa dilakukan pelan-pelan. Bagaimanapun juga, sebagian besar dari kita berangkat dari tidak tahu, lalu belajar, membiasakan diri untuk disiplin, lama-lama pasti lancar. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa menjadi titik awal untuk mulai merapikan administrasi dalam perusahaan, terutama sekali yang terkait dengan PPN.

Dasar-dasar PPN sudah di bahas di tulisan sebelumnya. Tulisan ini khusus membahas mengenai perlakuan akuntansinya, yaitu: penjurnalan dan penyajian di laporan keuangan. Namun sebelum itu, ada beberapa hal penting yang perlu diketahui sehubungan dengan PPN.

Hal-Hal Penting Untuk Diketahui Sehubungan Dengan PPN

Sekedar kilas balik, berikut ini adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui, sehubungan dengan PPN:

1. Nyaris setiap transaksi dagang adalah obyek PPN, namun ada beberapa golongan barang dan jasa yang memang dikecualikan alias tidak kena PPN (lihat daftar kelompok barang/jasa yg dikecualikan di dasar-dasar PPN).

2. Wajib pajak (baik perseorangan atau badan usaha), yang wajib melakukan pemungutan dan pelaporan PPN adalah yang telah berstatus “Pengusaha Kena Pajak” (PKP).

3. Batas minimal omset setahun untuk status PKP adalah 600 juta. Artinya, wajib pajak yang omset per tahunnya 600 juta atau lebih, wajib hukumnya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Wajib pajak yang omset per tahunnya masih dibawah 600 juta bisa mengajukan permintaan agar dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, namun TIDAK bersifat wajib.

4. PENJUAL barang/jasa yang telah berstatus PKP, wajib melakukan pemungutan PPN atas setiap barang (mereka) yang terjual, terlepas apakah pembelinya sudah berstatus PKP atau belum.

5. Pembeli barang/jasa yang telah berstatus PKP, berhak menerima “Faktur Pajak”(FP) sebagai bukti bahwa pembeliannya telah dipungut PPN. Baginya, faktur pajak yang diterima atas pembelian ini disebut dengan “Faktur Pajak Masukan” (FPM) yang sering disebut dengan “kredit pajak”. Sedangkan bagi penjual, faktur pajak yang ditebitkan (dikeluarkan) untuk pembeli disebut dengan “Faktur Pajak Keluaran” (FPK).

6. Tarif PPN adalah 10%

7. Besarnya “PPN Dipungut” dihitung dengan = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif = Nilai invoice x 10%.

8. Besarnya “PPN Terutang” dihitung dengan = PPN Dipungut – Kredit Pajak (Faktur Pajak Masukan)

9. Transaksi penjuaalan ekspor (ke luar wilayah pabean Indonesia) tarif PPN-nya nol, sehingga PPN-nya otomatis juga nol.

Itu saja. Mengenai ketentuan dasar hukum dan lain-lainnya bisa baca Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya-revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000. Mengenai konsep dasar PPN bisa baca seri sebelumnya (PerlakuanAkuntansi PPN: Dasar-dasar Pajak Pertambahan Nilai). Selanjutnya langsung ke perlakuan akuntansi PPN: penjurnalan dan penyajiannya di laporan keuangan.

Menjurnal Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Sebelum jauh-jauh berpikir tentang jurnal PPN, ada baiknya bertanya:

Perlukah saya membuat jurnal PPN? Perlukah saya menyajikan PPN di Laporan Keuangan perusahaan?

Jika perusahaannya BELUM berstatus “Pengusaha Kena Pajak” (PKP), maka TIDAK PERLU. Tetapi jika SUDAH berstatus PKP, maka WAJIB untuk melakukan pencatatan (penjurnalan) dan penyajian (pelaporan) PPN di Laporan Keuangan.

Bagimana saya bisa tahu apakah perusahaan (atau wajib pajak) sudah berstatus PKP atau belum?

(Untuk rekan-rekan yang sudah veteran pajak, mohon untuk tidak tertawa. Pada kenyataannya banyak masyarakat awam yang belum tahu persis apa itu PKP, termasuk mungkin adik-adik yang baru lulus kuliah.)
Jika saya tidak keliru, surat pengukuhan status pengusaha kena pajak itu berupa selembar kertas, mirif lembaran sertifikat.

Lembar surat pengukuhan status pengusaha kena pajak ini biasanya diarsipkan bersama-sama dengan NPWP. Kalau anda pegawai accounting yang baru bekerja di suatu perusahaan, ada baiknya anda tanyakan apakah perusahaan sudah ada NPWP dan berstatus PKP.

Jika dibilang sudah ada, minta copy-nya, arsipkan sendiri—agar tidak bingung mencarinya jika suatu saat anda perlu. Jika dibilang belum, minta folder arsip NPWP—katakan bahwa anda perlu photocopy NPWP-nya (sekalian anda periksa apakah ada PKP-nya atau tidak, siapa tahu mereka lupa), bisa jadi juga di simpan di folder akte pendirian perusahaan.

Hal-hal yang terlihat sepele ini sangat sering dispelekan, setelah kena pemeriksaan pajak baru kalang kabut. Bagaimanapun anda akan sangat memerlukan kedua lembar kertas ini untuk hal-hal terkait dengan perpajakan perusahaan yang anda tangani.

Sekarang anda sudah tahu apakah perusahaannya sudah berstatus PKP atau belum.

Jika BELUM PKP, berarti tidak usah pusing-pusing memikirkan PPN:

(a) PEMBELIAN – Jika perusahaannya belum PKP, maka setiap transaksi pembelian (baik itu kena pajak atau tidak), dicatat sebesar “Total Tagihan” yang tertera di nota atau invoice.
Misalnya: anda bekerja untuk PT. BTS yang kebetulan belum PKP. PT BTS membeli plastik pembungkus barang dagangan di PT. ABC yang kebetulan SUDAH PKP, sehingga atas pembelian tersebut PT. BTS dikenakan PPN 10%, dengan surat tagihan(invoice) sbb:

Plastic bag polypropylene ukuran 8 inch, 200 meter @15,000                                  = Rp 3,000,000
PPN 10%                                                                                                               = Rp     300,000
Total Tagihan                                                                                                            = Rp 3,300,000

Bagaimana menjurnal tagihan ini? Karena PT. BTS belum PKP maka dicatat sebesar “Total Tagihan”. Sekedar mengingat kembali prosedur menjurnal:

Langkah-1. Akun apa saja yang terlibat? Jawab: (1) Akun “Persediaan Bahan Penolong” karena plastic tersebut digunakan untuk membungkus barang dagangan; dan (2) akun “Utang Dagang” karena pembelian kredit (jika pembelian tunai maka akun yang terlibat adalah akun “Kas”).

Langkah-2. Akun mana yang di sisi debit dan mana yang di kredit? Jawab: Akun “Persediaan Bahan Penolong” saldonya bertambah, karena termasuk kelompok akun aktiva maka dimasukan ke sisi “debit”. Akun “Utang Dagang” saldonya juga bertambah, tapi karena termasuk kelompok akun passive di neraca maka dicatat di sisi “kerdit”.

Langkah-3. Berapa saldo bertambah atau berkurang? Jawab: masing-masing bertambah sebesar Rp 3,300,000 (sebesar total tagihan).

Langkah-4. Bagaimana jurnalnya?
[Debit]. Persediaan Bahan Penolong = Rp 3,300,000
                 [Kredit]. Utang Dagang – PT ABC           = Rp 3,300,000
(Untuk pembelian 200 meter plastic bag di PT. ABC)

Bagimana jika PT. ABC belum PKP? Jelas PT. ABC tidak akan memungut PPN, sehingga surat tagihannya pasti hanya sebesar Rp 3,000,000. Itulah yang dicatat.

Intinya: Setiap pembelian dicatat sebesar total tagihan (lihat angka paling ujung bawah yang ada tulisan ‘Total Tagihan” tidaj usah pedulikan ada PPN atau tidak). Artinya semua tagihan masuk ke akun “Persediaan” atau “Biaya” tergantung apa yang dibeli.

(b) PENJUALAN – Karena PT. BTS belum PKP, maka tidak boleh memungut PPN kepada pembeli. Sehingga, setiap penjualan dicatat sebesar nilai barang yang dijual saja.

Misalnya: PT. BTS belum PKP, menjual barang dagangan kepada PT. XYZ sebesar Rp 5,000,000, dengan harga pokok penjualan sebesar Rp 4,000,000. Atas transaksi penjualan ini dijurnal (ingat jurnal penjualan terdiri dari dua pasang):

[Debit]. Piutang Dagang – PT. XYZ = Rp 5,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 5,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang dagang)

Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 4,000,000
[Kredit]. Persediaan Barang = Rp 4,000,000
(Untuk mengakui Harga Pokok Penjualan, dan berkurangnya Persediaan Barang)

Intinya: Perusahaan belum PKP tidak memungut PPN.

Secara keseluruhan: Perusahaan yang BELUM berstatus PKP samasekali tidak mencatat dan tidak melaporkan adanya PPN baik itu di laporan komersial maupun fiskal.

Bagimana jika perusahaan SUDAH berstatus PKP?

Nah ini dia yang sedikit lebih rumit. Namun bisa diikuti pelan-pelan, tidak rumit-rumit amat. Oke. Kita bahas untuk perusahaan yang SUDAH berstatus PKP.

(a) PEMBELIAN – Supplier, dimana perusahaan membeli barang, bisa jadi ‘sudah PKP’ atau ‘belum PKP’. Ini akan mempengaruhi penjurnalan:

(1) Jika supplier belum PKP maka sudah pasti tidak akan ada PPN-nya.
Artinya, mereka tidak memungut PPN terlepas apakah perusahaan anda (sebagai pembeli) sudah berstatus PKP atau belum. Artinya juga, atas pembelian pada supplier yang belum PKP tidak melibatkan akun PPN, sehingga “Total Tagihan” diakui sebagai biaya atau persediaan saja—tergantung barang apa yang dibeli.
Misalnya: PT. BTS sudah PKP, membeli platic bag dari PT. Makmur Sentosa yang belum berstatus PKP sebesar Rp 3,000,000 secara kredit. Maka jurnalnya:

[Debit]. Persediaan Bahan Penolong = Rp 3,000,000
[Kredit]. Utang Dagang – PT. Makmur Sentosa = Rp 3,000,000

(2) Jika supplier sudah PKP, maka wajib memungut PPN.
 Misalnya: Tanggal 22 Februari 2012 PT. BTS Membeli benang jahit dari PT. Maju Jaya yang sudah PKP sebasar Rp 3,000,000. Atas pebelian tersebut maka PT. Maju Jaya memungut PPN sebesar Rp 300,000 (=10% x 3,000,000). Sehingga invoicenya akan menjadi sbb:

Benang jahit    = Rp   3,000,000
PPN 10%       = Rp      300,000
Total Tagihan  = Rp    3,300,000

Dan atas pemungutan tersebut PT. Maju Jaya wajib menerbitkan “Faktur Pajak.” Bagi PT. Maju Jaya faktur pajak yang mereka terbitkan adalah “Faktur Pajak Keluaran” (FPK). Sedangkan bagi PT. BTS faktur pajak yang sama adalah “Faktur Pajak Masukan (FPM). Bagaimana menjurnal pembelian tersebut?

Benang jahit yang nilainya Rp 3,000,000 sudah jelas diakui sebagai Persediaan Bahan Penolong. Bagaimana dengan PPN-nya yang Rp 300,000, masuk ke akun mana? Debit atau kredit?
Bagi PT. BTS (yang sudah PKP), faktur pajak masukan senilai Rp 300,000 tersebut adalah “kredit pajak”—dengan kata lain: mengurangi “Utang PPN” yang akan dilaporkan nanti. Bisa dibilang bahwa setiap lembar Faktur Pajak Masukan (yang diterima dari supplier) adalah pengurang “Utang PPN.” Dengan demikian, maka nominal yang ada di Faktur Pajak Masukan (FPM) dicatat sebagai “Utang PPN” namun dimasukan di sisi debit (alias pengurang saldo utang yang biasanya ada di sisi kredit). Sehingga oleh PT. BTS pembelian benang tersebut dicatat dengan jurnal sbb:

[Debit]. Persediaan Bahan Penolong = Rp 3,000,000 (aset)
[Debit]. Utang PPN – Ditjen Pajak = Rp 300,000 (kewajiban di sisi debit)
[Kredit]. Utang Dagang – PT. Makmur Sentosa = Rp 3,300,000 (kewajiban)

Sebagai tambahan, tanggal 25 Februari 2012 PT. BTS membeli bahan baku kain dari PT. PQR (sudah PKP) sebesar Rp 20,000,000. Atas pembelian tersebut, PT. PQR meneribitkan invoice sbb:
Kain polyester @Rp 10,000, sebanyak 2000 meter = Rp 20,000,000

PPN 10%                                                                                        = Rp 2,000,000
Total Tagihan                                                                                  = Rp 22,000,000

Maka PT. BTS mencatat pembelian tersebut dengan jurnal:

[Debit]. Persediaan Bahan Baku = Rp 20,000,000
[Debit]. Utang PPN – Ditjen Pajak = Rp 2,000,000
                   [Kredit]. Utang Dagang – PT. PQR = Rp 22,000,000

Intinya: setiap pembelian (apapun itu) yang disertai dengan Faktur Pajak Masukan (FPM), maka nominal yang ada dalam FPM dicatat sebagai “Utang PPN” di sisi DEBIT (lihat contoh di atas).

(b) PENJUALAN – Perusahaan yang sudah berstatus PKP wajib memungut PPN, terlepas apakah pembelinya sudah PKP atau belum. Bedanya hanya soal menerbitkan faktur pajak atau tidak saja. Untuk pembeli yang sudah PKP wajib diberikan Faktur Pajak, sedangkan yang belum tentu saja tidak.
Misalnya: PT. BTS sudah PKP, tanggal 26 Februari 2012 menjual barang dagangan berupa pakaian jadi kepada PT XYZ yang kebetulan juga sudah PKP sebesar Rp 100,000,000 (harga pokok penjualannya sebesar Rp 80,000,000). Atas transaksi tersebut PT. BTS wajib memungut PPN sebesa Rp 10,000,000 (10% x 100,000,000). Maka invoice yang diterbitkan menjadi:

Pakaian Jadi        = Rp 100,000,000
PPN 10%           = Rp    10,000,000
Total Tagihan        = Rp 110,000,000

PT. BTS mencatat penjualan tersebut dengan jurnal:

[Debit]. Piutang Dagang – PT. XYZ = Rp 110,000,000 (aset)
                         [Kredit]. Penjualan                           = Rp 100,000,000 (pendapatan di L/R)
                         [Kredit]. Utang PPN – Ditjen Pajak = Rp   10,000,000 (kewajiban)
(Untuk mengakui Penjualan dan PPN)

Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 80,000,000 (HPP di L/R)
               [Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 80,000,000 (aset)

Karena pembeli berstatus PKP, maka PT. BTS menerbitkan Faktur Pajak. Bagi PT. BTS (penjual) faktur ini adalah Faktur Pajak Keluaran (FPK) sedangkan bagi PT. XYZ faktur yang sama sadalah Faktur Pajak Masukan (FPM).

Sebagai tambahan, tanggal 27 Februari 2012 PT. BTS menjual pakaian jadi ke Boutique Cempaka yang belum PKP sebesar Rp 10,000,000. Karena PT. BTS sudah PKP maka wajib memungut PPN sebesa Rp 1,000,000 (=10% x Rp 10,000,000) terlepas apakah pembelinya sudah atau belum PKP. Hanya saja, karena Boutique Cempaka belum PKP maka PT. BTS tidak perlu menerbitkan Faktur Pajak (standar DJP). Cukup hanya dengan menerbitkan invoice yang mencantumkan PPN sbb:

Pakaian Jadi @Rp 100,000 sebanyak 100 pcs                      = Rp 10,000,000
PPN 10%                                                                            = Rp    1,000,000
Total Tagihan                                                                         = Rp 11,000,000

Jurnalnya sama seperti yang sebelumnya. Untuk contoh-contoh penjurnalannya saya rasa sudah cukup. Bagaimana dengan penyajiannya di Laporan Keuangan?

Penyajian PPN di Laporan Keuangan
Dari semua transaksi pembelian dan penjualan PT. BTS di atas (mulai dari PT. Maju Jaya sampai dengan Boutique Cempaka), jelas terlihat bahwa semua unsur PPN masuk ke akun “Utang PPN”. Hanya beda sisi sebit dan kredit saja:
  • Untuk Pembelian yang ada Faktur Pajak Masukannya dicatat di sisi “DEBIT” pada akun “Utang PPN”.
  • Untuk pembelian tanpa faktur Pajak Masukan, tidak ada pengakuan utang PPN karena memang tidak dipungut PPN, sehingga tidak mempengaruhi saldo akun “Utang PPN”
  • Untuk penjualan—baik yang ada Faktur Pajak Keluaran maupun yang tidak, semuanya dicatat di sisi “KREDIT” akun “Utang PPN”.
Sehingga di penutupan buku PT. BTS untuk bulan Februari 2012, saldo buku besar akun “Utang Pajak” akan nampak sbb (kita asumsikan saldo awal akun ini nol):
Tanggal                                                 Debit                                                 Kredit
22-Feb                                                     300,000
25-Feb                                                 2,000,000
26-Feb                                                                                                  10,000,000
27-Feb                                                                                                    1,000,000
Total                                                    2,300,000                                  11,000,000
Saldo                                                                                                       8,700,000

Saldo akun “Utang PPN” PT. BTS di penutupan buku 28 Februari 2012 yang sebesar Rp 8,700,000 (=11,00,000 – 2,300,000) itulah yang dibayarkan ke kas negara via bank persepsi. Katakanlah tanggal 8 Maret 2012 pegawai accounting PT. BTS melunasi utang PPN tersebut via bank. Maka atas pelunasan itu dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Utang PPN – Ditjen Pajak = Rp 8,700,000
              [Kredit]. Kas                                             = Rp 8,700,000

Setelah jurnal tersebut dimasukan maka saldo “Utang PPN”, logikanya, jadi nol.

“Mungkin tidak saldo ‘Utang-PPN’ tidak nol setelah pelunasan?” Jawabannya: Mungkin saja. Itu bisa terjadi jika total nominal ‘PPN-pembelian’ lebih tinggi dibandingkan ‘PPN-penjualan’. Kasus seperti ini lumrah terjadi pada perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor (dimana pungutan PPN-penjualan’ nyaris tidak ada karena tarif PPN penjualan ekspor nol) di satu sisinya, sementara di sisi lainnya perusahaan memiliki banyak faktur pajak masukan dari pembelian bahan baku, bahan penolong, dll.  Untuk masalah ini saya akan bahas nanti secara khusus di topik “Restitusi Pajak” (tax refund).

Sebagai simpulan akhir, untuk menjawab pertanyaan dalam judul tulisan ini: “PPN Masuk ke Laba-Rugi atau Neraca? Jawabannya: tergantung apakah perusahaan yang ditangani sudah berstatus PKP atau belum.  Jika sudah, maka setiap unsur PPN (baik atas pembelian maupun penjualan) masuk ke NERACA, persisnya ke dalam akun “Utang PPN” di sisi passiva. Sedangkan jika perusahaannya belum berstatus PKP maka tidak perlu mencatat PPN, setiap pembelian (terlepas apakah supplier mengitung PPN atau tidak) diakui sebesar total tagihan untuk kemudian dialokasikan entah itu ke akun biaya (Laba-Rugi) atau atau akun persediaan barang (neraca) tergantung barang apa yang dibeli.

3 comments:

  1. Makasih ya...penjelasannya sangat membantu

    ReplyDelete
  2. Pak kalo contoh diatas PT BTS mencatat pembelian dengan mendebit "HUTANG PPN" tapi ada juga contoh lain yang mendebit sebagai "PPN MASUKAN" dan ketika si perusahaan menjual barangnya maka iya mencatat "PPN KELUARAN".
    Apakah sama saja mendebit ppn masukan dengan hutang ppn di debit ?

    ReplyDelete
  3. Kk, angsuran pajak PPh 25 dan pot. Pot. PPh pasal 4 ayat 2 di worksheet masuk neraca atau laba rugi? Dan apa saja pengaruhnya Kk? 🙏🙏🙏🙏

    ReplyDelete

Designed By