Dalam
pemeriksaan pajak tidak diatur tipe/jenis bukti audit sebagaimana dikenal dalam
pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Namun demikian, bukti audit
dalam pemeriksaan pajak pada prinsipnya mencakup tipe/jenis bukti audit sebagaimana
dikenal dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Bukti audit dalam
pemeriksaan pajak dapat diperoleh dari pendokumentasian penerapan teknik
pemeriksaan pajak sebagaimana diatur dalam SE-65/PJ/2013.
Kata
kunci:
Bukti
audit, peranan penting, pemeriksaan pajak, pemeriksaan laporan keuangan.
A.Pendahuluan
Pemeriksaan
pajak mempunyai tujuan yang berbeda dengan pemeriksaan laporan keuangan.
Pemeriksaan pajak dilakukan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
perundang-undangan perpajakan sedangkan pemeriksaan laporan keuangan dilakukan
dengan tujuan untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan tersebut. Oleh
karena itu, agar tujuan tersebut tercapai maka pemeriksa pajak atau auditor
harus mengumpulkan bukti pemeriksaan (audit) yang memadai untuk mendukung
kesimpulan atau pendapatnya yang dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan
atauAudit Report. Dalam tulisan ini, dibahas perbandingan bukti audit
dalam pemeriksaan pajak untuk tujuan menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan bukti audit dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum
(pemberian opini atas laporan keuangan).
B.Bukti
Audit
Bukti
audit mempunyai peranan penting bagi pemeriksa (auditor) dalam mengambil
kesimpulan atas audit yang sedang dilakukannya.
1.Pengertian
Bukti
Arens,
Elder, dan Beasley (2012: 24) memberikan pengertian bukti (evidence)
sebagai berikut: “Evidence is any information used by auditor to determine
whether the information being audited is stated in accordance with the
established criteria.”
Definisi
tersebut menyatakan bahwa bukti adalah segala informasi yang digunakan oleh
auditor untuk menentukan apakah informasi yang sedang diaudit dinyatakan sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan. Dalam konteks pemeriksaan laporan
keuangan untuk tujuan umum (pemberian opini) tentunya kriteria yang telah
ditetapkan adalah Standar Akuntasi Keuangan. Sedangkan dalam konteks
pemeriksaan pajak, kriteria yang ditetapkan adalah Undang-undang Perpajakan
beserta peraturan pelaksanaannya.
2.Bukti
Audit Dalam Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan
Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diudah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-undang KUP) disebutkan bahwa
pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Selanjutnya,
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/KMK.03/2013 menyebutkan
bahwa pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus
dilaksanakan sesuai dengan Standar Pemeriksaan. Dalam Pasal 6 ayat (3) PMK
tersebut disebutkan bahwa Standar Pemeriksaan meliputi Standar Umum
Pemeriksaan, Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan Standar Pelaporan Hasil
Pemeriksaan.
Standar
Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf c PMK Nomor 17/KMK.03/2013 menyebutkan
bahwa “temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup
dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Selanjutnya, bukti kompeten yang cukup diatur dalam Pasal 4 huruf c Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013. Berikut ini adalah uraian bukti
kompeten yang cukup berdasarkan Pasal 4 huruf c Peraturan Dirjen Pajak
tersebut.
2.1.Bukti
Kompeten
Yang
dimaksud bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap
mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib
Pajak yang memiliki hubungan istimewa.
a.Validitas
Bukti
Bukti
yang valid berarti bukti tersebut dapat diandalkan untuk menyimpulkan suatu
fakta. Tingkat validitas bukti dipengaruhi oleh tiga hal sebagai berikut:
i)
Independensi dan Kualifikasi Sumber Diperolehnya Bukti
Bukti
yang diperoleh dari pihak yang independen tingkat validitasnya lebih tinggi
dibandingkan bukti yang diperoleh dari pihak yang tidak independen. Selain
independensi, perlu juga memperhatikan hubungan pihak yang memberikan bukti
dengan bukti yang diberikan.
ii)
Kondisi Bukti Diperoleh
Tingkat
kesulitan mendapatkan bukti yang dipengaruhi situasi dan/atau kondisi dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tingkat validitas bukti.
iii)
Cara Bukti Diperoleh
Bukti
yang diperoleh secara langsung oleh Pemeriksa Pajak (misalnya observasi)
tingkat validitasnya lebih tinggi dibandingkan bukti yang diperoleh secara
tidak langsung (misalnya bukti yang disediakan oleh Wajib Pajak). Cara
memperoleh bukti juga harus memperhatikan legalitas cara perolehan bukti.
b.
Relevansi Bukti
Bukti
yang relevan berarti bahwa bukti tersebut harus berkaitan dengan pos-pos yang
akan diperiksa sebagaimana tercantum dalam program pemeriksaan.
2.2.
Kecukupaan Bukti
Bukti
yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung temuan hasil pemeriksaan.
Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement)
Pemeriksa Pajak.
3.Bukti
Audit Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan
Terkait
dengan bukti audit untuk pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum,
berikut ini diuraikan persuasivitas bukti audit (bukti audit yang
meyakinkan) dan tipe/jenis bukti audit.
3.1.Persuasivitas
Bukti Audit
Tidak
mungkin bagi auditor memeriksa seluruh bukti transaksi klien. Oleh karena itu,
auditor harus mengumpulkan bukti yang tepat dan mencukupi untuk mendukung
pendapat yang diberikan. Auditor harus yakin bahwa pendapatnya benar dengan
tingkat kepastian yang tinggi. Dengan menggabungkan seluruh bukti audit yang
diperolehnya, auditor dapat meyakinkan dirinya untuk mengambil kesimpulan atas
audit yang dilakukannya dalam rangka menerbitkan Audit Report.
Arens,
Elder, dan Beasley (2012: 196-198) menyebutkan bahwa terdapat dua penentu untuk
persuasivitas bukti, yaitu ketepatan bukti dan kecukupan bukti.
a.Ketepatan
Bukti (Appropriateness of Evidence)
Ketepatan
bukti merupakan ukuran mutu bukti, yang berarti relevansi dan reliabilitasnya
memenuhi tujuan audit untuk kelas transaksi, saldo akun, dan pengungkapan
terkait. Ketepatan bukti terkait dengan prosedur audit yang dipilih.
1)
Relevansi Bukti (Relevance of Evidence)
Bukti
audit harus berkaitan atau relevan dengan tujuan audit. Sebagai contoh, auditor
ingin menguji apakah penjualan yang terjadi telah ditagih (tujuan audit kelengkapan).
Apabila auditor menelusuri sampel faktur penjualan ke dokumen pengiriman
barang, maka bukti audit yang diperolehnya bukan bukti audit yang tepat untuk
tujuan audit kelengkapan, namun tepat untuk tujuan audit keterjadian. Untuk
memenuhi tujuan audit kelengkapan, auditor dapat menggunakan prosedur yang
tepat, yaitu menelusuri sampel bukti pengiriman barang ke faktur penjualan.
2)
Reliabilitas Bukti (Reliability of Evidence)
Reliabilitas
bukti terkait dengan apakah suatu bukti dapat dipercaya (diandalkan) atau
tidak. Jika suatu bukti dapat diandalkan, maka bukti tersebut sangat membantu
meyakinkan auditor bahwa laporan keuangan klien disajikan secara wajar. Sebagai
contoh, auditor menghitung sendiri persediaan, maka bukti yang diperoleh
auditor lebih dapat diandalkan daripada hasil perhitungan persediaan yang
berikan oleh klien kepada auditor.
Reliabilitas
bukti tergantung pada enam karakteristik bukti yang dapat diandalkan, yaitu:
a)
Independensi Penyedia Bukti (Independence of Provider)
Bukti
yang diperoleh dari sumber luar entitas lebih dapat diandalkan ketimbang yang
diperoleh dari dalam entitas.
b)
Efektivitas Pengendalian Internal Klien (Effectiveness of Client’s Internal
Controls)
Jika
pengendalian internal klien efektif, maka bukti audit yang diperoleh lebih
dapat diandalkan ketimbang jika pengendalian internalnya lemah.
c)
Pengetahuan Langsung Auditor (Auditor’s Direct Knowledge)
Bukti
audit yang diperoleh langsung oleh auditor melalui pemeriksaan fisik,
observasi, penghitungan ulang, dan inspeksi lebih dapat diandalkan ketimbang
informasi yang diperoleh secara tidak langsung.
d)
Kualifikasi Individu yang Menyediakan Bukti (Qualifications of Individuals
Providing the Information)
Bukti
audit tidak akan dapat diandalkan kecuali individu yang menyediakan informasi
tersebut memenuhi kualifikasi untuk itu. Sebagai contoh, pemeriksaan atas
persediaan permata oleh auditor yang tidak terlatih untuk membedakan antara
permata dan kaca bukan merupakan bukti audit yang dapat dindalkan bagi
eksistensi permata.
e)
Tingkat Objektivitas (Degree of Objectivity)
Bukti
yang objektif lebih dapat diandalkan ketimbang bukti yang memerlukan
pertimbangan tertentu untuk menentukan apakah bukti tersebut adalah benar.
Contoh bukti yang objektif adalah jawaban konfirmasi piutang usaha dan
perhitungan fisik sekuritas. Adapun contoh bukti yang subjektif adalah
tanya-jawab dengan manajer kredit mengenai ketertagihan piutang usaha yang
tidak lancar dan surat yang ditulis oleh pengacara klien yang membahas hasil
yang mungkin akan diperoleh dari gugatan hukum yang sedang dihadapi oleh klien.
Apabila reliabilitas bukti yang subjektif dievaluasi, maka penting bagi auditor
untuk menilai kualifikasi orang yang menyediakan bukti tersebut.
f)
Ketepatan Waktu (Timeliness)
Ketepatan
waktu bukti audit terkait dengan kapan bukti audit itu dikumpulkan dan periode
yang tercakup oleh audit tersebut. Untuk akun-akun neraca, bukti lebih dapat
diandalkan apabila diperoleh sedekat mungkin dengan tanggal neraca. Sebagai
contoh, perhitungan auditor atas sekuritas pada tanggal neraca akan lebih dapat
diandalkan ketimbang jika perhitungan tersebut dilakukan dua bulan sebelumnya.
Untuk akun-akun laporan laba rugi, bukti yang diperoleh akan lebih diandalkan
jika ada sampel untuk keseluruhan periode yang diaudit, seperti sampel acak
atas transaksi penjualan setahun penuh, bukan hanya sebagian periode saja
misalnya sampel untuk enam bulan pertama.
b.Kecukupan
Bukti (Sufficency of Evidence)
Kuantitas
bukti yang diperoleh akan menentukan kecukupan bukti audit. Kecukupan bukti
terutama diukur oleh sampel yang dipilih oleh auditor. Beberapa faktor akan
menentukan ketepatan ukuran sampel yang dipilih oleh auditor. Dua faktor yang
paling penting adalah ekspektasi auditor atas salah saji dan keefektifan
pengendalian internal klien. Jika pengendalian internal klien efektif maka
ukuran sampel yang lebih kecil dalam proses audit mungkin dapat dilaksanakan.
Selain
ukuran sampel, masing-masing item yang diuji akan mempengaruhi kecukupan bukti
audit. Sampel yang terdiri atas item-item populasi dengan nilai uang besar,
item-item yang kemungkinan besar salah saji, dan item-tem yang mewakili
populasi umumnya dianggap sudah mencukupi.
c.Dampak
Gabungan Ketepatan dan Kecukupan Bukti
Persuasivitas
bukti hanya dapat dievaluasi setelah mempertimbangkan kombinasi antara
ketepatan dan kecukupan bukti audit, termasuk pengaruh faktor-faktor yang
mempengaruhi ketepatan dan kecukupan bukti audit tersebut.
Sejumlah
besar sampel bukti audit yang disediakan oleh pihak independen tidak bersifat persuasif
kecuali bukti tersebut relevan dengan tujuan audit yang sedang diuji. Sejumlah
besar sampel yang relevan tetapi tidak objektif juga tidak persuasif. Demikian
pula, sampel yang sedikit yang hanya terdiri dari satu atau dua bukti transaksi
yang sangat tepat juga kurang memiliki persuasivitas. Ketika menentukan
persuasivitas bukti audit, auditor harus mengevaluasi bahwa tingkat ketepatan
dan kecukupan bukti audit, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi kedua hal
tersebut, telah terpenuhi.
3.2.Tipe/Jenis Bukti Audit
Arens,
Elder, dan Beasley (2012: 199-204) menyebutkan bahwa terdapat delapan
tipe/jenis bukti audit sebagai berikut:
–
Pemeriksaan fisik (physical examination)
–
Konfirmasi (confirmation)
–
Dokumentasi (documentation)
–
Prosedur analitis (analytical procedures)
–
Tanya jawab dengan klien (inquiries of the client)
–
Rekalkulasi (recalculation)
–
Pelaksanaan/reka ulang (reperformance)
–
Observasi (observation)
Penjelasan
kedelapan tipe/jenis bukti audit tersebut di atas diuraikan berikut ini.
a.Pemeriksaan
Fisik (Physical Examination)
Pemeriksaan
fisik adalah inspeksi atau perhitungan yang dilakukan oleh auditor atas aset
berwujud. Sebagai contoh, pemeriksaan fisik atas persediaan, kas, sekuritas,
wesel tagih, dan aset tetap berwujud. Pemeriksaan fisik adalah cara langsung
untuk memverifikasi apakah suatu aset benar-benar ada (tujuan audit
keberadaan), dan pada tingkat tertentu apakah aset yang ada itu telah dicatat
(tujuan audit kelengkapan).
Pemeriksaan
fisik dianggap sebagai salah satu jenis bukti audit yang paling dapat
diandalkan dan berguna. Pada umumnya pemeriksaan fisik adalah cara yang
objektif untuk mengetahui kuantitas maupun deskripsi atas aset tersebut.
Konfirmasi
menggambarkan penerimaan respon tertulis langsung dari pihak ketiga yang
memverifikasi keakuratan informasi yang diminta oleh auditor. Karena informasi
berasal dari pihak ketiga yang independen terhadap klien, jenis bukti audit ini
sangat dipercaya dan sering digunakan.
b.Konfirmasi
(Confirmation)
Dokumentasi
adalah inspeksi oleh auditor atas dokumen dan catatan klien untuk mendukung
informasi yang tersaji atau seharusnya tersaji dalam laporan keuangan. Dokumen
yang diperiksa oleh auditor adalah catatan yang digunakan klien untuk menyediakan
informasi bagi pelaksanaan bisnis dengan cara yang terorganisasi, yang bisa
dalam bentuk kertas, elektronik, atau media lain. Karena setiap transaksi klien
biasanya didukung paling sedikit satu dokumen, maka tipe/jenis bukti audit ini
biasanya tersedia dalam beberapa jenis dokumen. Sebagai contoh, klien
seringkali menyimpan pesanan pelanggan, dokumen pengiriman barang, dan salinan
faktur penjualan atas setiap transaksi penjualan.
c.Dokumentasi
(Documentation)
Dokumentasi
telah digunakan secara luas sebagai bukti audit. Kadang-kadang jenis bukti
audit ini merupakan satu-satunya jenis bukti audit yang tersedia.
Apabila
auditor menggunakan dokumentasi untuk mendukung transaksi atau jumlah yang
dicatat, prosesnya seringkasi disebut vouching. Contoh, auditor melakukan
verifikasi ayat jurnal pada jurnal akuisisi dengan memeriksa faktur pendukung
dari vendor/pemasok dan laporan penerimaan barang untuk memenuhi tujuan audit
keterjadian. Namun apabila auditor menelusuri dari laporan penerimaan barang ke
jurnal akuisisi untuk memenuhi tujuan audit kelengkapan, hal ini tidak tepat
bila disebut vouching, melainkan lebih tepat disebut tracing.
d.Prosedur
Analitis (Analytical Procedures)
Prosedur
analitis menggunakan perbandingan-perbandingan dan hubungan-hubungan untuk
menilai apakah saldo-saldo akun atau data lainnya tampak masuk akal bila
dibandingkan dengan harapan-harapan auditor. Sebagai contoh, auditor mungkin
membandingkan persentase laba kotor tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya.
Prosedur analitis digunakan secara luas dalam praktik dan dipersyaratkan
dilakukan selama tahap perencanaan dan penyelesaian audit.
Ada
beberapa tipe dari prosedur analitis, yaitu:
–
Membandingkan data klien dengan data industri.
–
Membandingkan data klien dengan data tahun-tahun sebelumnya.
–
Membandingkan data klien dengan data kilen mengenai hasil yang diharapkan yang
telah ditentukan (budget).
–
Membandingkan data klien dengan data auditor mengenai hasil yang diharapkan
yang telah ditentukan.
–
Membandingkan data klien dengan hasil yang diharapkan yang menggunakan data
nonfinansial.
e.Tanya
Jawab dengan Klien (Inquiries of the Client)
Tanya
jawab dengan klien merupakan upaya memperoleh informasi secara tertulis maupun
lisan dari klen sebagai respon atas pertanyaan yang diajukan auditor. Walaupun
banyak bukti yang diperoleh dari klien melalui tanya jawab, ini biasanya tidak
dapat dipandang sebagai bukti yang meyakinkan karena bukan berasal dari sumber
yang independen dan mungkin bias dan menguntungkan pihakklien. Karena itu,
apabila auditor memperoleh bukti melalui tanya jawab, auditor perlu memperoleh
bukti pendukung/tambahan melalui prosedur lainnya.
6.
Rekalkulasi (Recalculation)
Rekalkulasi
melibatkan pengecekan ulang atas suatu sampel perhitungan yang dibuat oleh
klien. Pengecekan ulang tersebut terdiri atas pengujian atas keakuratan
perhitungan matematis oleh klien dan pengecekan lainnya seperti pengecekan
perhitungan biaya penyusutan dan biaya dibayar dimuka yang dibuat oleh klien.
7.
Pelaksanaan/Reka Ulang (Reperformance)
Pelaksanaan/reka
ulang adalah pengujian independen yang dilakukan oleh auditor atas prosedur
akuntansi atau pengendalian internal klien, yang dilakukan sebagai bagian dari
sistem akuntansi dan pengendalian intern klien. Sebagai contoh, auditor dapat
membandingkan harga yang tertera pada suatu faktur dengan daftar harga yang
resmi atau melakukan reka ulan atas umur piutang. Jenis pelaksanaan/reka ulang
lainnya bagi auditor adalah mengecek ulang transfer informasi dengan menelusuri
informasi yang tercanturm dalam lebih dari satu tempat untuk memverifikasi
bahwa hal itu dicatat pada jumlah yang sama setiap waktu. Contoh, auditor
melakukan pengujian terbatas untuk memastikan informasi dalam jurnal penjualan
telah dicatat bagi pelanggan yang tepat dan pada jumlah yang benar dalam buku
tambahan piutang usaha dan secara akurat diikhtisarkan dalam buku besar.
8.
Observasi (Observation)
Observasi
adalah penggunaan indera untuk menilai aktivitas klien. Selama menjalani
penugasan dengan klien, auditor mempunyai banyak kesempatan untuk menggunakan
inderanya (penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan penciuman) guna mengevaluasi
berbagai item. Auditor dapat mengunjungi lokasi pabrik untuk memperoleh kesan
umum atas fasilitas klien, atau mengamati individu yang melaksanakan tugas
akuntansi untuk menentukan apakah orang yang diserahi tanggung jawab telah
melaksanakan tugasnya dengan baik. Observasi kadang kurang dapat diandalkan
kalau pegawai klien mengubah perilakunya karena kehadiran auditor. Oleh karena
itu, perlu untuk menindaklanjuti kesan pertama saat observasi dengan
bukti-bukti pendukung/tambahan lainnya. Namun demikian, observasi berguna dalam
pelaksanaan sebagian besar audit.
C.Pembahasan
Pembahasan
dimulai dari bukti kompeten yang cukup dalam pemeriksaan pajak dibandingkan
dengan persuasivitas bukti (bukti yang meyakinkan) dalam pemeriksaan laporan
keuangan untuk tujuan umum kemudian dilanjutkan dengan tipe/jenis bukti audit.
1.Pembahasan
Bukti Kompeten yang Cukup versus Persuasivitas Bukti
Dalam
pemeriksaan pajak, pemeriksa pajak mendasarkan temuannya pada bukti kompeten
yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
dan bukti dianggap kompeten apabila bukti tersebut valid dan relevan dengan
tetap mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi
Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa. Sedangkan dalam pemeriksaan
laporan keuangan untuk tujuan umum (pemberian opini), auditor mendasarkan
pendapatnya pada bukti yang dikumpulkan dan Standar Akuntansi Keuangan. Apabila
auditor mendapatkan bukti yang meyakinkan (persuasivitas bukti), maka bukti
tersebut membantu auditor untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan yang
diperiksa. Bukti yang meyakinkan (persuasivitas bukti) ditentukan oleh dua hal
yaitu ketepatan bukti dan kecukupan bukti. Bukti dianggap tepat apabila
relevansi dan reliabilitasnya memenuhi tujuan audit.
Validitas
bukti dalam pemeriksaan pajak dipengaruhi oleh:
–
independensi dan kualifikasi sumber diperolehnya bukti;
–
kondisi bukti diperoleh; dan
–
cara bukti diperoleh.
Pemeriksaan
laporan keungan untuk tujuan umum tidak mennggunakan istilah validitas bukti,
namun menggunakan istilah reliabilitas bukti. Reliabilitas bukti tergantung
pada enam karakteristik bukti yang dapat diandalkan sebagai berikut:
–
independensi penyedia bukti;
–
efektivitas pengendalian internal klien;
–
pengetahuan langsung auditor;
–
kualifikasi individu yang menyediakan bukti;
–
tingkat objektivitas; dan
–
ketepatan waktu.
Kalau
dibandingkan faktor yang mempengaruhi validitas bukti dalam pemeriksaan pajak
dengan faktor yang mempengaruhi reliabilitas bukti dalam pemeriksaan laporan
keuangan untuk tujuan umum terdapat kesamaan atau kedekatan makna yaitu
independensi dan kualifikasi sumber diperolehnya bukti (dalam pemeriksaan
pajak) sama dengan independensi penyedia bukti dan kualifikasi individu yang
menyediakan bukti (dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum), cara
bukti diperoleh (dalam pemeriksaan pajak) dekat maknanya dengan pengetahuan
langsung auditor (dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum).
Adapun
faktor yang mempengaruhi validitas bukti berupa kondisi bukti diperoleh dalam
pemeriksaan pajak diberikan penjelasan dalam Pasal 4 huruf c Peraturan Direktur
Jenderal Pajak (Perdirjen Pajak) Nomor PER-23/PJ/2013. Pasal 4 huruf c
Perdirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 hanya menjelaskan tingkat kesulitan
mendapatkan bukti yang dipengaruhi situasi dan/atau kondisi dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan tingkat validitas bukti. Penjelasan ini belum
menggambarkan secara jelas mengai kondisi bukti diperoleh yang dapat
mempengaruhi validitas bukti. Dalam Perdirjen Pajak sebelumnya yaitu Perdirjen
Pajak Nomor PER-09/PJ/2010, sebelum diganti dengan Perdirjen Pajak Nomor
PER-23/PJ/2013, dalam Pasal 5 huruf e diberikan penjelasan mengenai bukti yang
diperoleh yang dapat mempengaruhi validitas bukti sebagai berikut bahwa bukti
yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal kuat memiliki
validitas lebih tinggi dibandingkan bukti yang dihasilkan oleh entitas yang
memiliki sistem pengendalian internal lemah. Penjelasan dalam Perdirjen Nomor
PER-09/PJ/2010 ini mempunyai kedekatan dengan faktor efektivitas pengendalian
internal klien yang dapat mempengaruhi reliabilitas bukti dalam pemeriksaan
laporan keuangan untuk tujuan umum.
Selanjutnya,
dalam pemeriksaan pajak tidak disebutkan faktor tingkat objektivitas dan
ketepatan waktu yang dapat mempengaruhi validitas bukti sebagaimana faktor tingkat
objektivitas dan ketepatan waktu tersebut disebutkan dalam pemeriksaan laporan
keuangan untuk tujuan umum yang dapat mempengaruhi realibilitas bukti. Penulis
berpendapat bahwa walaupun dalam Perdirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 tidak
menyebutkan faktor tingkat objektivitas dan ketepatan waktu dalam menentukan
validitas bukti, faktor tersebut harus menjadi pertimbangan juga bagi pemeriksa
pajak dalam menentukan validitas bukti.
Dalam
pemeriksaan pajak, bukti danggap relevan apabila bukti tersebut berkaitan
dengan pos-pos yang diperiksa sebagaimana tercantum dalam program pemeriksaan.
Sedangkan dalam pemeriksaan untuk tujuan umum, bukti dianggap relevan apabila
bukti tersebut berkaitan atau relevan dengan tujuan audit yang diuji oleh
auditor.
Faktor
lainnya yang mempengaruhi keputusan baik bagi pemeriksa pajak maupun auditor
dalam mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan
atau Audit Reportadalah kecukupan bukti. Dalam pemeriksaan pajak,
disebutkan bahwa bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung
temuan hasil pemeriksaan. Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional
judgement) pemeriksa pajak. Selanjutnya, dalam pemeriksaan laporan keuangan
untuk tujuan umum, kuantitas bukti yang diperoleh akan menentukan kecukupan
bukti audit. Kecukupan bukti terutama diukur oleh sampel yang dipilih oleh
auditor yang besaran sampelnya dipengaruhi oleh ekspektasi auditor atas salah
saji dan keefektifan pengendalian internal klien. Selain ukuran sampel, masing-masing
item yang diuji akan mempengaruhi kecukupan bukti audit misalnya sampel yang
terdiri atas item-item populasi dengan nilai uang besar, item-item yang
kemungkinan besar salah saji, dan item-tem yang mewakili populasi umumnya
dianggap sudah mencukupi.
Dalam
pemeriksaan pajak, kecukupan bukti audit tidak ditekankan pada kuantitas bukti
yang diperoleh yang diukur dengan sampel yang dipilih auditor. Hal ini wajar,
karena dalam pemeriksaan pajak, tidak dilakukan pemeriksaan seluruh pos SPT
atau seluruh akun laporan keuangan. Pemilihan pos-pos SPT dan turunannnya
(akun-akun laporan keuangan) yang diperiksa didasarkan pada identifikasi
masalah yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Bukti audit yang kumpulkan oleh
pemeriksa pajak harus dapat mendukung atau mempertahankan temuan hasil
pemeriksaan. Namun demikian, untuk pengujian substantif atas saldo suatu pos
SPT atau akun laporan keuangan, sampel bukti transaksi yang digunakan pengujian
saldo tersebut harus mencukupi, tanpa mengesampingkan penggunaan alat uji yang
lain.
2.Pembahasan
Tipe/Jenis Bukti Audit
Dalam
pemeriksaan pajak, tidak diklasifikasikan tipe/jenis bukti audit sebagaimana
diklasifikasikan dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum dalam
delapan tipe/jenis audit sebagai berikut:
–
pemeriksaan fisik (physical examination);
–
konfirmasi (confirmation);
–
dokumentasi (documentation);
–
prosedur analitis (analytical procedures);
–
tanya jawab dengan klien (inquiries of the client);
–
rekalkulasi (recalculation);
–
pelaksanaan/reka ulang (reperformance);
–
observasi (observation).
Namun
demikian, tipe/jenis audit sebagaimana dimaksud dalam pemeriksaan laporan
keuangan untuk tujuan umum tersebut dalam pemeriksaan pajak tercermin dalam
pendokumentasian dari penerapan teknik pemeriksaan sebagaimana diatur dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen Pajak) Nomor SE-65/PJ/2013
tanggal 31 Desember 2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik
Pemeriksaan. Teknik Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam SE-65/PJ/2013 tersebut
adalah sebagai berikut:
–
pemanfaatan informasi internal dan/atau eksternal Direktorat Jenderal Pajak;
–
pengujian keabsahan dokumen;
–
evaluasi;
–
analisis angka-angka;
–
penelusuran angka-angka;
–
penelusuran bukti;
–
pengujian keterkaitan;
–
ekualisasi;
–
permintaan keterangan atau bukti;
–
konfirmasi;
–
inspeksi;
–
pengujian kabenaran fisik;
–
pengujian kebenaran penghitungan matematis;
–
wawancara;
–
uji petik (sampling);
–
Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK); dan/atau
–
teknik-teknik Pemeriksaan lainnya.
Kalau
dibuatkan matriks antara tipe/bukti audit dalam pemeriksaan laporan keuangan
untuk tujuan umum dan teknik pemeriksaan pajak, tampak seperti dalam daftar
berikut ini:
Tipe/Bukti
Audit
Dalam
Pemeriksaan Laporan Keuangan
|
Teknik
Pemeriksaan
Dalam Pemeriksaan Pajak
|
–
Pemeriksaan fisik (physical examination)
|
–
Pengujian kabenaran fisik
|
–
Konfirmasi (confirmation)
|
–
Konfirmasi
–
Permintaan keterangan atau bukti
|
–
Dokumentasi (documentation)
|
–
Pengujian keabsahan dokumen
–
Penelusuran angka-angka;
–
Penelusuran bukti;
– Evaluasi
|
– Prosedur
analitis (analytical procedures)
|
– Analisis
angka-angka
–
Ekualisasi
|
– Tanya
jawab dengan klien (inquiries of the client)
|
–
Wawancara
|
–
Rekalkulasi (recalculation)
|
–
Pengujian kebenaran penghitungan matematis
|
–
Pelaksanaan/reka ulang (reperformance)
|
–
Pengujian keterkaitan
|
–
Observasi (observation)
|
– Inspeksi
|
Dengan
demikian, pendokumentasian dari penerapan teknik pemeriksaan dalam pemeriksaan
pajak tersebut menjadi bukti audit dalam pemeriksaan pajak.
D.Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
- Bukti audit mempunyai peranan penting baik dalam pemeriksaan pajak maupun pemeriksaan laporan keuangan. Dalam pemeriksaan pajak dikenal istilah bukti kompeten yang cukup untuk mendukung temuan hasil pemeriksaan pajak, sedangkan dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum digunakan istilah persuasivitas bukti (bukti yang meyakinkan) untuk mendukung pendapat auditor atas laporan keuangan yang diauditnya.
- Dalam pemeriksaan pajak, bukti dianggap kompeten apabila bukti tersebut valid dan relevan. Sedangkan dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum, bukti dianggap meyakinkan apabila memenuhi ketepatan dan kecukupan bukti. Ketepatan bukti dipengaruhi oleh reliabilitas dan relevansi bukti.
- Validitas bukti dalam pemeriksaan pajak dan reliabilitas bukti dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Terdapat kesamaan faktor-faktor yang mempengaruhi validitas bukti dalam pemeriksaan pajak dan reliabilitas bukti dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Namun demikian, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi reliabilitas bukti dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum yang perlu dipertimbangkan juga oleh pemeriksa pajak dalam menentukan validitas bukti yaitu tingkat objektivitas dan ketepatan waktu.
- Terdapat faktor yang mempengaruhi validitas bukti yaitu kondisi bukti diperoleh yang oleh Perdirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 belum diberikan penjelasan secara jelas. Oleh karena itu, apabila dilakukan penyempurnaan PER-23/PJ/2013 akan lebih baik bila faktor kondisi bukti diperoleh diberikan penjelasan secara jelas sebagaimana pernah dijelaskan dalam Perdirjen Pajak Nomor PER-09/PJ/2010.
- Relevansi bukti audit diperlukan baik dalam pemeriksaan pajak maupun pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Dalam pemeriksaan pajak, bukti audit danggap relevan apabila bukti tersebut berkaitan dengan pos-pos yang diperiksa sebagaimana tercantum dalam program pemeriksaan. Sedangkan dalam pemeriksaan untuk tujuan umum, bukti dianggap relevan apabila bukti tersebut berkaitan dengan tujuan audit yang diuji oleh auditor.
- Kecukupan bukti audit akan mempengaruhi keputusan baik bagi pemeriksa pajak maupun auditor dalam mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atau Audit Report. Dalam pemeriksaan pajak, bukti dianggap yang cukup apabila bukti tersebut memadai untuk mendukung temuan hasil pemeriksaan. Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) pemeriksa pajak. Selanjutnya, dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum, kuantitas bukti yang diperoleh akan menentukan kecukupan bukti audit.
- Dalam pemeriksaan pajak tidak diatur mengenai tipe/jenis bukti audit sebagaimana dikenal dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Namun demikian, bukti audit dalam pemeriksaan pajak pada prinsipnya mencakup tipe/jenis bukti audit sebagaimana dikenal dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Bukti audit dalam pemeriksaan pajak dapat diperoleh dari pendokumentasian penerapan teknik pemeriksaan pajak sebagaimana diatur dalam SE-65/PJ/2013.
Referensi:
- Arens, Elder, dan Beasley. 2012, Auditing and Assurance Services: An Integrated Approach, Fourteenth Edition, Pearson Education Limited, England.
- Tunggal, Amin Widjaja, MBA, Drs., Ak., CPA. 2012, Pengantar Forensic Auditing, Harvarindo, Jakarta.
- Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009.
- Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan.
- Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 tanggal 11 Juni 2013 tentang Standar Pemeriksaan.
- Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban
No comments:
Post a Comment