Konsep dan standar-nya lumayan rumit. Menjadi
makin rumit karena dalam praktek yang susungguhnya terjadi dilapangan, sangat
berbeda. Sejauh yang saya tahu, kontrak konstruksi adalah salah satu konsep dan
standar yang paling sulit untuk bisa diterapkan di lapangan.
Bagaimanapun juga, perbedaan konsep dengan
penerapan adalah hal yang lumrah. Justru (bagi saya) di situlah letak
menariknya. Ada unsur tantangannya—yang mudah-mudahan, jika dihadapi dan
dilakoni akan membuat kita makin matang dalam menjalankan profesi sebagai orang
akuntansi.
Jangan khawatir, melalui tulisan ini—meskipun
tetap tidak mudah, saya akan pandu pembaca untuk mensinkronkan konsep/standar
dengan penerapan yang sesungguhnya, melalui contoh kasus
yang saya rancang semirip mungkin dengan kasus sesungguhnya. Kuncinya, saat
membaca, konsentrasi penuh, pahami logika-logika yang saya sajikan. Selamat
mengikuti!
Dasar Pengakuan Pendapatan dan Biaya Kontrak Konstruksi
PSAK 34, Paragraf 22 menyebutkan:
“Jika hasil kontrak konstruksi dapat diestimasi
secara andal, maka pendapatan kontrak dan biaya kontrak yang berhubungan dengan
kontrak konstruksi diakui masing-masing sebagai pendapatan dan beban dengan
memerhatikan tahap penyelesaian aktivitas kontrak pada tanggal akhir periode
pelaporan. Taksiran rugi pada kontrak konstruksi tersebut segera diakui sebagai
beban.”
Ada 3 kunci utama yang perlu dipahami dari
pernyataan standar ini, yaitu:
- Pendapatan dan biaya kontrak konstruksi dapat diakui jika hasil kontrak dapat diestimasi secara handal;
- Pengakuan pendapatan dan biaya kontrak konstruksi memperhatikan tahap penyelesaian aktivitas (sesuai kontrak tentunya); dan
- Jika diperkirakan biaya aktivitas konstruksi diperkirakan lebih tinggi dari hasilnya, maka segera diakui sebagai biaya (atau beban).
Pertanyaannya: Bila mana
(kapan) pendapatan dan biaya konstruksi dikatakan dapat diestimasi secara
handal?
Di tulisan saya sebelumnya mengenai apa itu kontrak konstruksi telah saya bahas bahwa, dalam
akuntansi, rumusan kontrak konstruksi dibagi menjadi 2 macam yaitu: (a) kontrak
harga tetap; dan (b) kontrak biaya-plus. PSAK 34 memberikan
panduan mengenai kriteria yang harus dipenuhi oleh pendapatan dan biaya
kontrsuksi agar bisa dikatakan “dapat diestimasi secara handal”,
yaitu:
(a) Kontrak Harga Tetap – Pada
rumusan ini, hasil kontrak konstruksi dapat diestimasi secara andal jika semua
kondisi berikut ini dapat terpenuhi:
- Total pendapatan kontrak dapat diukur secara andal;
- Kemungkinan besar manfaat ekonomi yang berhubungan dengan kontrak tersebut akan mengalir ke entitas;
- Baik biaya kontrak untuk menyelesaikan kontrak maupun tahap penyelesaian kontrak pada akhir periode pelaporan dapat diukur secara andal; dan
- Biaya kontrak yang dapat diatribusi pada kontrak dapat diidentifikasi dengan jelas dan diukur secara andal sehingga biaya kontrak aktual dapat dibandingkan dengan estimasi sebelumnya.
(b) Kontrak Biaya-Plus – Pada
rumusan ini, hasil kontrak konstruksi dapat diestimasi secara andal 2 kondisi
berikut ini terpenuhi:
- Kemungkinan besar manfaat ekonomi yang berhubungan dengan kontrak tersebut akan mengalir ke entitas; dan
- Biaya kontrak yang dapat diatribusi pada kontrak, apakah dapat ditagih atau tidak ke pelanggan, dapat diidentifikasi dengan jelas dan diukur secara andal.
Cara Mudah Menentukan Estimasi Andal-atau-Tidak Andal
Saya tahu, memahami teori—terlebih-lebih bahasa
PSAK, jika tidak terbiasa, bukannya mengerti malah tambah pusing. Muter-muter
nggak keruan. Bahasanya cenderung normatif dan kaku. Ya harus dimaklumi,
namanya juga standar kan. Itu sebabnya tulisan ini saya buat. Bagaimanapun
juga, PSAK memang tidak bisa diabaikan begitu saja, terlebih-lebih jika
perusahaannya sudah berstatus ‘Terbuka (Tbk.)”.
Untuk mempermudah pemahaman, rasanya lebih baik
jika saya menggunakan bahasa dan pemahaman saya saja. Jangan khawatir, saya
bukan hanya belajar dari PSAK saja. Pemahaman saya ini sudah saya cross-check
dengan IFRS, bahkan dengan GAAP Codification (FASB). Tentunya saya akan tetap
berpegang pada PSAK, tetapi setelah saya bandingkan dengan IFRS dan GAAP
Codification—hanya untuk memastikan bahwa interpretasi saya tidak keliru.
Bagaimanapun juga toh PSAK menggunakan IFRS dan GAAP sebagai acuan utama.
Ada 3 item yang menjadi persoalan utama
dalam hal ini, yaitu:
(1) Pendapatan – kapan pendapatan
diakui dan berapa besarnya?
(2) Biaya – kapan biaya diakui
dan berapa besarnya?
(3) Laba/Rugi – kapan laba/rugi
diakui dan berapa besarnya?
Untuk mejawab ketiga pertanyaan ini, yang perlu
saya garisbawahi adalah PSAK 34 yang bunyinya:
“Pendapatan dan biaya kontrak konstruksi
dapat diakui jika hasil kontrak dapat diestimasi secara andal”
‘Andal’ disini artinya PASTI.
Bicara kata pasti untuk urusan bisnis patokannya cuma satu, yaitu: LEGALITAS.
Artinya: sepanjang dalam kontrak telah disebutkan berapa nilai kontraknya, apa
hak dan kewajiban beserta syarat-syarat pembayaran dengan jelas, dan kontraknya
dituangkan ke dalam perjanjian yang sifatnya mengikat secara hukum, MAKA itu
artinya SUDAH memenuhi syarat “dapat diestimasi secara andal”.
Misalnya: Kontraknya menyebutkan
bahwa kontraktor akan menerima sebesar Rp 500,000,000 pada tanggal 15 November
2011. Itu artinya ‘Pendapatan’ sudah pasti akan diterima. Jika sampai tidak,
ikatan legalitas kontrak (atas nama hukum) dapat memaksakan agar agar
kontraktor menerima haknya (pembayaran). Dengan demikian, maka menurut PSAK 34,
pendapatan sebesar Rp 500,000,000 BISA DIAKUI, dengan jurnal:
[Debit]. Piutang = Rp 500,000,000
[Kredit]. Pendapatan = Rp 500,000,000
Meskipun pembayarannya belum diterima. Nantinya
jika pembayaran sudah benar-benar diterima, maka dijurnal:
[Debit]. Kas = Rp 500,000,000
[Kredit]. Piutang = Rp 500,000,000
Bagaimana dengan ‘Biaya’? Biaya
diakui pada saat timbul sebesar apapun selama itu berhubungan dengan
penyelesaian pekerjaan dalam kontrak. Bagaimana dengan pengakuan
‘Laba/Rugi’-nya? Tentu besarnya laba/rugi adalah selisih antara
pendapatan dengan biaya sehubungan dengan penyelesaian pekerjaan sesuai
kontrak.
Itu jika pembayaran dan penyelesaian pekerjaan
dilakukan sekaligus dan dalam periode buku yang sama.
BAGAIMANA JIKA kontraknya menyebutkan
“Pembayaran akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan tingkat penyelesaian
pekerjaan,” dan tenggang waktunya melewati beberapa periode tahun buku?
Pada prakteknya, kondisi kontrak seperti inilah
yang paling sering terjadi. Contoh yang saya sajikan tadi hanya untuk
menjelaskan interpretasi “dapat diestimasi secara handal” dengan lebih
mudah—supaya pembaca tidak ada keraguan dan kebingungan yang tidak perlu
sehubungan dengan penafsiran “dapat diestimasi secara andal”.
Metode Pengakuan Pendapatan dan Biaya Kontrak Konstruksi
Seperti telah saya sebutkan di awal mengenai 3
hal penting yang perlu digarisbawahi dari PSAK 34, salah satunya menyebutkan
bahwa: “Pengakuan pendapatan dan beban dengan memperhatikan tahap
penyelesaian”. Metode pengakuan seperti ini disebut ‘Metode
Persentase Penyelesaian”—dalam bahasa inggrisnya disebut “Percentage-of-Completion
Method”.
Menurut metode ini, pendapatan kontrak
dihubungkan dengan biaya kontrak yang terjadi dalam mencapai tahap penyelesaian
tersebut, sehingga pendapatan, beban, dan laba yang dilaporkan dapat
diatribusikan menurut penyelesaian pekerjaan secara proporsional. STOP. Cukup.
Untuk mempermudah pemahaman saya jelaskan pakai
contoh kasus saja.
Contoh Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Pada Kontrak Bertahap
BRISTOL adalah kontraktor. Tanggal 2 Januari 2012
memperoleh kontrak mengerjakan pembangunan Ruko dari PT. ABC. Kondisi kontrak
disepakati sebagai berikut:
Nilai Kontrak = Rp 10,000,000,000
(Dokumen internal PT. BRISTOL berupa RAB menunjukan angka Rp 7,500,000,000).
Lamanya waktu pengerjaan adalah 3 tahun, bangunan
di serahkan paling lambat tanggal 28 Desember 2014 dengan rencana tahapan
penyelesaian pekerjaan sebagai berikut:
- Akhir Semester I 2012 : 10%
- Akhir Semester II 2012: 30%
- Akhir Semester I 2013: 50%
- Akhir Semester II 2013: 70%
- Akhir Semester I 2014: 90%
- 28 Desember 2014: 100%
Pencairan pembayaran dilakukan secara bertahap
mengikuti perkembangan penyelesaian pekerjaan. Untuk menentukan perkembangan
penyelesaian pekerjaan, pihak PT. ABC bersama-sama PT. BRISTOL akan melakukan
inspeksi lapangan. Kontrak telah disahkan dalam perjanjian yang dibuat di
hadapan seorang notaris.
Oke. Menerapkan ‘Metode Persentase
Penyelesaian’ memang bukan sesuatu yang mudah. Tapi saya akan pandu melalui
contoh kasus ini.
Kita mulai dengan menganalisa isi kontraknya:
- Apakah unsur legalitas sudah terpenuhi? Sudah. Itu artinya unsur kepastian sudah terpenuhi.
- Apakah kontrak sudah memuat rincian rencana penyelesaian dan syarat ketentuan pembayaran? Sudah. Itu artinya unsur ‘dapat diestimasi secara andal’ sudah terpenuhi.
Jika diterjemahkan ke dalam ESTIMASI
maka rencana biaya dan pendapatan BRISTOL atas kontrak dengan PT. ABC akan menjadi
sbb:
* Untuk Estimasi Laba
= Estimasi Pendapatan – Estimasi Biaya Kontrak.
Apakah perhitungan estimasi di atas sudah
bisa dijurnal?
Meskipun PSAK menyatakan bahwa:
“Pendapatan dan Biaya diakui sepanjang dapat diestimasi secara handal”,
sebagai orang yang tahu pelaksanaannya dilapangan, tetap saja saya TIDAK
MENGANJURKAN HAL ITU. Terlalu berbahaya. Bagaimanapun juga, estimasi tetaplah
estimasi—belum kejadian yang sesungguhnya.
Apalagi PSAK 34, Paragraf 38 juga menyebutkan:
“Metode persentase penyelesaian diterapkan secara
kumulatif dalam setiap periode akuntansi terhadap estimasi pendapatan kontrak
dan biaya kontrak.”
Oleh sebab itu, saya tetap menganjurkan
agar: pendapatan diakui hanya jika sudah 99% pasti terjadi.
Pertanyaannya: Kapan ‘99%
pasti terjadi’ itu?
Melihat isi kontrak PT. BRISTOL dengan PT. ABC dalam
contoh kasus ini, menurut saya, 99% pasti itu terjadi apabila perkembangan
hasil pekerjaan telah dinilai—persisnya ya setelah inspeksi lapangan dilakukan.
Tentu. Prinsip kesesuaian (matching principle)
akuntansi memandatkan agar setiap pengakuan biaya harus bisa dihubungankan
dengan pendapatan yang timbul. Itu artinya, segala biaya (material yang
dipergunakan, upah buruh yang dibayarkan, dan lain sebagainya) yang
terjadi sebelum penilaian perkembangan hasil pekerjaan dilakukan, untuk
sementara TIDAK DIAKUI SEBAGAI BIAYA, melainkan diakumukasikan ke dalam satu akun
khusus yang biasa diberi nama ‘Pekerjaan Dalam Proses (Work-In-Progress)’
yang nantinya akan masuk ke dalam kelompok Aktiva (aset) di Neraca.
Mengapa demikian? Karena jika dipaksakan
masuk biaya, Laporan Laba Rugi akan terlihat aneh—yang muncul hanya
biaya-biaya, sementara tidak ada pendapatannya. Matching principle jadi tidak
terpenuhi!
Misalnya: Tanggal 10
Januari 2012, PT. BRISTOL membeli bahan bahan bangunan (besi, semen, pasir, kapur,
batu koral) sebesar Rp 25,000,000. Atas pembelian ini tidak dicatat sebagai
biaya melainkan diakumulasikan ke dalam akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’, dengan
jurnal:
[Debit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 25,000,000
[Kredit]. Utang – Toko Rejeki = Rp 25,000,000
Catatan: Selanjutnya,
setiap pengeluaran terkait dengan proses konstruksi atas kontrak tersebut
dimasukan ke dalam akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’. Sekalilagi ini bukan biaya,
melainkan aset (aktiva).
Katakanlah tanggal 25 Januari 2012, PT. BRISTOL
membayah upah mandor pengawas dan upah buruh bangunan sebesar Rp 50,000,000.
Inipun diakumulasikan ke dalam akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’ dengan jurnal:
[Debit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 50,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 50,000,000
Bagaimana laporan keuangan PT. BRISTOL di
akhir Januari 2012?
Jika mengikuti PSAK 34, maka
estimasi pendapatan dan estimasi biaya PT. BRISTOL sudah bisa dijadikan dasar untuk
melakukan pengakuan pendapatan dan biaya. Sehingga akun ‘Pekerjaan Dalam
Proses’ sudah bisa dipindahkan ke akun biaya dengan jurnal:
[Debit]. Biaya Kontrak Konstruksi = Rp 75,000,000
[Kredit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 75,000,000
(Catatan: Dengan jurnal ini,
maka saldo akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’ akan menjadi nol dan timbul saldo baru
di akun ‘Biaya Kontrak Konstruksi’).
Bagaimana pengakuan pendapatannya?
Diproporsionalkan. Dihitung dengan menggunakan rasio perbandingan antara biaya
yang sungguh-sungguh terjadi dengan estimasi biaya tahap pertama. Dalam contoh
kasus ini:
= Kenyataan Biaya/Estimasi Biaya sampai
Akhir Semester I 2012
= Rp 75,000,000/750,000,000 = 1%
Pendapatan yang diakui = 1% x Estimasi Pendapatan
sampai Akhir Semester I 2012
Pendapatan yang diakui = 1% x Rp 1,000,000,000 =
Rp 100,000,000.
Jurnal pengakuan pendapatannya menjadi:
[Debit]. Piutang – PT. ABC = Rp 100,000,000
[Kredit]. Pendpatan = Rp 100,000,000
Sehingga besarnya laba yang diakui untuk januari
2012 adalah 100,000,000 – 75,000,000 = Rp 25,000,000
TETAPI, sekalilagi, SAYA TIDAK
MENGANJURKAN ITU. Bagi saya, pengakuan pendapatan berdasarkan
estimasi—meskipun legalitasnya sudah jelas, tetap terlalu berbahaya. Untuk itu
saya tetap menganjurkan agar tidak melakukan pengakuan pendapatan sampai 99%
pasti terjadi.
Jika demikian, bagaimana dengan laporan
keuangan di akhir Januari 2012? Ya praktis tidak ada biaya juga
tidak ada pendapatan. Yang ada hanya perubahan posisi akun-akun di Neraca.
Selanjutnya, mungkin ada yang ingin bertanya:
- “Apakah itu boleh?” Boleh, karena pada kenyataannya PT. BRISTOL belum ada pendapatan
- “Kenapa tidak buat Laporan Laba Rugi dengan membukukan rugi saja?” Ya untuk apa?
- “Bagaimana dengan pengeluaran-pengeluaran selama ini (pembelian bahan bangunan, upah tukang, dll?” Semua itu dianggap sebagai aktivitas untuk memupuk aset (aktiva), oleh karenanya telah dicatat di akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’
Keadaan seperti itu akan terus berlangsung hingga
pembayaran pertama diperoleh dari PT. ABC. Bagaimana selanjutnya? Karena
keterbatasan ruang, terpaksa saya tunda sampai di sini dahulu. Lanjutannya bisa
dibaca di tulisan saya ini [ Contoh Penerapan Metode Persentase Penyelesaian KontrakKontruksi bagian ke-dua].
No comments:
Post a Comment